Sabtu, Juli 26, 2008

Al-Habib Muhammad Bin Ahmad Al-Muhdhar

Beliau lahir di desa Quwairah, Du’an Al-Ayman, Hadramaut pada tahun 1280 H (sekitar 1863 H). Beliau memang sangat dihormati, bukan hanya oleh tokoh yang lebih muda atau seusianya tetapi juga mereka yang lebih tua. Beliau alim ‘allamah yang tampak cahayanya, karena senantiasa berdzikir siang dan malam. Wibawanya demikian tampak bahkan meski kita hanya memandang fotonya saja.
 
Al Habib Muhammad bin Ahmad Al-Mudhar adalah putra tokoh besar pula, Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar (lahir di Ar-Rasyid Ad-Du’aniyah 1217 H dan wafat tahun 1304 H/sekitar 1886 M). Beliau tumbuh sebagaimana lazimnya anak keluarga Alawiyin dan keluarga ulama pada umumnya. Pertama-tama beliau dididik oleh ayahnya dan membaca kitab kepadanya. Kelebihannya sudah tampak sejak kecil yang membuatnya sangat dusukai oleh ayahnya. Bagi Ayahnya beliau benar-benar penyejuk matanya dan beliau juga sempat dididik oleh kakaknya yaitu Al-Habib Hamid bin Ahmad Al-Muhdhar.
 
Setelah itu beliau juga mengambil ilmu dari sejumlah guru besar pada masanya terutama kepada Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas yang selalu disertainya baik ketika berada di tempat maupun di dalam perjalanan. Beliau membaca beberapa kitab kepadanya, diantaranya Al-Muhadzdzab. Dalam kitab Tajul A’ras halaman 469, Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas (Habib Ali Bungur) mengisahkan kejadian unik ketika Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar menghatamkan kitab itu pada gurunya tersebut : “Saya membaca kitab Al-Muhadzdzab kepada Al-Walid Ahmad bin Hasan ketika beliau mengunjungi Du’an. Tetapi ketika itu tidak mudah bagi kami untuk menyelesaikannya, maka beliau meminta saya menemaninya dalam perjalanan pulang ke Huraidhah untuk menyempurnakannya. Akhirnya saya dapat juga menyelesaikan pembacaan kitab itu pada beliau pada hari keberangkatan kami dari Qaidun. Ketika itu kami berjalan mengendarai dua kuda berdampingan, hal itu adalah kejadian langka yang sungguh merupakan pengalaman yang unik dan menarik.
 
Sepeninggal sang ayah Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar bersama kakaknya Al-Habib Hamid bagaikan “dua sejoli” yang bahu-membahu menjalani apa yang sebelumnya dilakukan oleh ayah mereka dalam lapangan ilmu dan dakwah. Kemudian Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar mengadakan perjalanan ke Singapura dan ke Jawa, beliau selalu disambut hangat dan dikerumuni oleh banyak orang dan setelah itu beliau kembali ke negerinya dan di sambut dengan penuh penghormatan. Ketika keadaan negerinya mulai tenang dan segala sesuatu dapat berjalan dengan baik kakaknya Al-Habib Hamid pergi ke Haramayn. Sekembali kakaknya tahun 1308 H, Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar pergi ke Hyderabad India sebagai tamu Sulthan ‘Awadh bin Umar Al-Qu'aythi. Di sana orang dari berbagai bangsa dan lapisan masyarakat berdesak-desakan untuk menemuinya. Dari sana beliau melanjutkan perjalanan menuju Jawa Timur dan menetap di Bondowoso yang menjadi tempat pengabdiannya yang lama.
 
Kemudian, beliau bertemu dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi yang menghormatinya dan sangat senang kepadanya, tidak lama kemudian Al-Habib Muhammad bin Idrus menikahkan beliau dengan putrinya. Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar adalah orang yang tampan, gagah, dan putih kulitnya setiap yang melihat pasti segan dan senang terhadapnya. Di mana saja beliau berada orang berkerumun mengelilinginya bagaikan pagar. Yang membuat orang senang diantaranya ialah beliau selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang bagus serta kalimat yang santun dan bijak  dan tidak mengherankan ucapannya diterima orang dan keinginannya pun dituruti. Peringatan dan nasehatnya memiliki pengaruh yang mendalam pada jiwa orang.
 
Kedudukan dan pengaruh beliau tidak terbatas pada kalangan Alawiyin atau masyarakat arab saja melainkan merata pada semua kalangan muslim, khususnya di Jawa bahkan juga orang Belanda dan pejabat pribumi. Beliau juga menjalin hubungan baik dengan ulama dan tokoh di berbagai belahan dunia. Dengan mereka, beliau sering berkorespondasi. Diantaranya beliau bersama Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Hiyed, Al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, dan Al-Habib Muhammad Bin Agil bin Yahya bersurat menyurat dengan Imam Yahya penguasa Yaman pada saat itu. Di samping itu ada pula surat pribadi beliau (tidak dengan yang lain) kepadanya.
 
Beliau sangat senang kepada tamu beliau menerima dam mengurus mereka sepenuhnya dengan senang hati serta penuh penghormatan dan penghargaan. Apabila ada tamu datang beliau keluar menyambutnya hingga kedepan rumah dengan wajah berseri-seri dan penuh penghormatan, semua diterima dengan senang hati dan dengan ahklak yang terpuji sikap dan prilakunya membuat setiap orang menganggap bahwa dirinya adalah orang yang paling dekat dengan beliau dan paling di cintai olehnya. Kediaman beliau menjadi tujuan para tamu, tidak mengherankan bila semua rumah, masjid dan madrasahnya senantiasa ramai di kunjungi orang tanpa henti. Hari-hari di tempatnya seolah terus-menerus menjadi hari raya. Semasa hidupnya beliau dikenal memiliki perhatian sangat besar kepada umat dan masyarakat pada umumnya. Segala upaya beliau kerahkan untuk melakukan perbaikan di mana saja menyadari pentingnya kebersamaan dalam membangun masyarakat, beliau tidak hanya bertindak sendiri para hartawanpun beliau dorong untuk mau melakukan perbuatan baik. Tak terhitung lagi banyaknya madrasah, rumah yatim, dan masjid yang di bangun berkat usahanya. Madrasah Al-Khairiyah, Surabaya, serta Jamiat Kheir dan Daarul Aitam, Jakarta adalah sebagian lembaga yang di bantunya. Beliau juga mengupayakan berdirinya madrasah Al-Falah, Bondowoso pada tahun 1332 H (sekitar 1913 M).
 
Murah hati dan berbudi
Kemurahan dan akhlak beliau sering diceritakan orang. Kedermawanannya sulit ditandingi. Sangat banyak pribadi yang di bantunya dan beliau tidak membeda-bedakan mereka. Jika orang yang memiliki kesusahan datang kepadanya, beliau hilangkan kesulitannya. Jika orang memiliki utang meminta bantuan, beliau berikan sebagian hartanya. Dalam kitab Syams Azh-Zhahirah jilid pertama halaman 283 disebutkan bahwa beliau pernah melunasi hutang sahabatnya 20.000 gulden, meski demikian beliau tidak pernah menyebut-nyebut kebaikannya. Jika datang kepadanya orang yang lapar, orang itu dapat makan di tempatnya sampai kenyang. Hidangannya selalu terbentang rombongan demi rombongan makan di tempatnya setiap hari. Orang merasa heran atas keberkahan makanan ini, jika bepergian baliau naik kereta kelas satu dan memang beliau sangat pantas dan layak untuk itu.
 
Ghirah (kecemburuan sehingga selalu ingin membela) beliau terhadap Islam, Rasulullah, Ahli bait, Ulama dan orang shalih sangat tinggi. Bila ada yang memusuhi mereka atau membicarakan yang buruk tentang mereka baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, beliau sangat menentangnya. Perhatian beliau terhadap ilmu sangat besar. Wajar jika wawasan keilmuannya juga luas. Jika tidak ada tamu sebagian besar waktunya digunakan untuk membaca dan menelaah kitab, baik sendiri maupun dihadiri orang, yang dibacanya kebanyakan kitab hadits. Biasanya yang membacanya adalah putranya Al-Habib Alwi. Di majlisnya beliau tidak suka menyebut-nyebut dunia karena malu kepada Allah SWT. Jika beliau berada di kota lain majelisnya dipenuhi orang dimana-mana. Orangtua maupun anak muda ingin sekali menghadiri majelisnya. Diantara tokoh habaib yang dekat dengannya adalah Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas Pekalongan yang dianggap gurunya. Beliau sering mengunjunginya di Pekalongan, jika beliau datang Al-Habib Ahmad menyuruh para muridnya menyambut beliau dengan nasyid. Meski Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar lebih muda dan menganggapnya sebagai guru, Al-Habib Ahmad sangat menghormatinya. Al-Habib Ahmad pun suka mengunjungi beliau. Bahkan ketika telah lanjut usia dan lumpuh pula kakinya Al-Habib Ahmad bersama istri, anak-anak dan sejumlah muridnya mengunjungi beliau di kediamannya di Bondowoso.
 
Al-Habib Ahmad yakin bahwa Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar adalah orang yang do’anya mustajab. Suatu ketika Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar datang ke Pekalongan dan minta izin kepada Al-Habib Ahmad untuk pergi ke Jakarta. Ketika itu Al-Habib Ahmad berkata kepadanya : “Saya teringat kepada anak Saya Al-Habib Ali, Saya ingin ia datang pada ied tahun ini”, maka berkatalah Al-Habib Muhammad kepadanya, “Insya Allah ia akan hadir pada hari ‘ied di tempat Antum”. Ketika itu ‘ied sudah dekat sedangkan Al-Habib Ali (putra Al-Habib Ahmad) masih berada di Hadramaut. Tidak ada pula surat dari ayahnya yang memintanya datang, ketika Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar telah sampai di Jakarta orang berdatangan menyambutnya. Beliau hadir di rumah muhibbin (pecinta habaib), Ahmad bin Abdullah Basalamah dan mengadakan Rauhah setiap hari. Di antara yang di ceritakan oleh Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar megenai perjalanannya adalah apa yang terjadi diantara beliau dengan Al-Habib Ahmad mengenai masalah anaknya, Al-Habib Ali. Pada waktu ashar pada hari kelima Rauhah itu tiba-tiba datang tukang pos membawa telegram dari Al-Habib Ahmad yang isinya demikian : “Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar di Betawi, semoga Allah membahagiakanmu, Ali telah sampai di Singapura.
 
Al-Habib Ahmad bin Thalib Al-Attas, Pekalongan.”Pada malam selasa 21 syawwal 1344 H/ 4 mei 1926 M, Al-Habib Muhammad Al-Muhdhar wafat di Surabaya setelah sempat dirawat dirumah sakit. Selasa keesokan harinya beliau dimakamkan dalam acara besar yang dihadiri orang Arab dan kaum muslimin pribumi dari segala tempat. Beliau dimakamkan di pemakaman Al-Habib Muhammad bin Adrus Al-Habsyi, mertuanya dan orang yang sangat dekat dengannya. Beliau meninggalkan lima anak laki-laki, Abdullah, Alwi, Sholeh, Husein, dan Muhdhar, serta tiga anak perempuan. Wafatnya seseorang seperti beliau benar-banar merupakan kehilangan dalam Islam. Wajarlah ketika berita meninggalnya terdengar orang-orang pun berkumpul dan mengadakan tahlil untuk beliau.(www.habaib.org/salim umar)

Tidak ada komentar: